Doa untuk Elvira Mokoginta
Oleh: Katamsi Ginano
Saya menggigil dengan hati teraduk-aduk
saat membaca serangkaian berita dugaan pemerkosaan, pembunuhan, lalu
pembakaran terhadap bocah perempuan, Elvira Mokoginta (11 tahun), yang
ditayang situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/), Rabu (29 Juni 2011). Hanya ada dua kata yang seketika tercetus di benak: biadab dan terkutuk!
Elvira, anak kelima dari enam bersaudara
yang lahir dari pasangan Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong, pasti
hanya kanak-kanak dengan mimpi, ingin, dan dunia sendiri; sembari
memahami demi family survival
dia mesti melakukan sesuatu untuk ayah-ibu dan saudara-saudaranya.
Sayang membayangkan di saat anak-anak seusianya dari kalangan mapan asik
bermain masak-memasak, boneka-bonekaan, gadget terbaru, berkeliling mall
dan wahana hiburan modern, atau mematut teve, dia menelusuri jalanan
Desa Paret, Kotabunan (Bolaang Mongondow Timur) dan sekitarnya,
menjajakan kue sembari tak kehilangan dunia masa kecil.
Dengan kegembiraan anak-anak seusianya,
Sabtu (26 Juni 2011) Elvira Mokoginta meninggalkan rumah orangtuanya,
mengusung kue yang dijajakan dari rumah ke rumah, bahkan hingga ke
kampung tetangga. Lalu dia menghilang…. Kabar yang simpang-siur datang
menyatakan dia terakhir terlihat bersepeda motor bersama seorang
laki-laki. Tatkala ditemukan di perkebunan Soyowan, Ratatotok (Minahasa
Tenggara), Elvira sudah pralaya dengan kondisi jasad yang mematahkan
hati siapa pun yang masih punya rasa.
Di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/),
Kamis (30 Juni 2011), bermenit-menit saya menatap foto bocah berparas
ayu dan ringkih ini dengan dada yang luka digenangi kepedihan. Lahir,
jodoh dan mati adalah rahasia Yang Maha Kuasa, tetapi tetap saja sulit
bahkan sekadar membayangkan anak perempuan yang rela dan sepenuh hati
ikut meringankan beban orangtuanya ini akhirnya menanggung nasib seperti
yang dia alami.
Ada setimentil personal yang
mendera-mendera, tersebab saya lahir dari keluarga besar dengan hanya
ada dua perempuan di dalam rumah: Ibu dan adik bungsu. Namun di tengah
keluarga pula kami, sebarisan laki-laki yang semaunya bukanlah anak-anak
manis sejak usia belia, lebih dari sekadar belajar memperlakukan
perempuan (siapa pun dia) dengan penuh hormat dan sayang.
Sembari menjalani hari-hari di bawah
disiplin dan kecerewetan Ibu, juga belakangan sifat yang sama tampaknya
sukses diwarisi adik bungsu, kami meresapi kisah perempuan-perempuan
Mongondow luar biasa, termasuk mitologi Inde’ Dou’ yang perkasa dari
wilayah Kotabunan.
Di Mongondow perempuan bukanlah sekadar
pelengkap. Di saat etnis dan komunitas lain di negeri ini masih
bersikutat dengan isu-isu gender dan emansipasi, sejak masa kanak saya
menyaksikan dan mengalami betapa perempuan didudukkan di posisi
terhormat. Mereka bukan hanya sejajar dengan kaum lelaki, tetapi dalam
banyak keluarga ibu atau saudara perempuan adalah ‘’Jenderal Besar’’
(dengan ‘’J’’ dan ‘’B’’). ‘’Bobai bi’ mongompig ko’i natong.’’
Kesejajaran
dan tuntutan dijunjungnya perempuan dalam khasanah Mongondow yang
paling sederhana diekspresikan di upacara pernikahan. Hanya di
Mongongondow-lah salah satu harta yang biasanya disediakan mempelai
lelaki (yang mampu) adalah pitou. Di masa kini kian banyak tafsir terhadap penyertaan pitou
dalam mas kawin, tapi interpretasi favorit saya adalah: kalau seorang
suami berani macam-macam terhadap perempuan yang dia minta menjadi
istri, maka di titik yang tak tertahankan dan terkompromikan, si
perempuan berhak menuntut, termasuk dengan menggunakan pitou.
Barangkali hanya di Mongondow pula dikenal budaya mogama’, yang substansinya bukan membawa anak perempuan keluar dari rumah keluarga setelah resmi menjadi seorang istri. Mogama’
adalah simbol penghormatan terhadap perempuan, yang tidak hanya diminta
direlakan oleh keluarganya, tetapi juga keikhlasannya menjadi bagian
dari anggota keluarga suami. Pernikahan Mongondow tanpa mogama’, sesederhana apa pun pelaksanaannya, seperti menyantap goroho goreng tanpa dabu-dabu.
Kita Pantas Marah
Sukar
menggambarkan, sembari menyimak berita-berita tentang Elvira Mokoginta,
apakah saya berpasrah meneteskan airmata atau mengasah parang dan turut
dalam rombongan orang-orang yang tengah mendidih oleh amarah. Andai tak
berpikir kita hidup di negara hukum dengan adab-adab yang mengatur
perilaku manusia agar tak tergelincir menjadi segerombolan buduk, saya
serta-merta bersetuju terhadap hukuman primitif: nyawa dibayar nyawa.
Dua orang laki-laki bertarung hingga salah
seorang tumbang berlumur darah masih dapat dipahami sebagai tindakan
bela diri, mempertahankan pendapat dan sikap, atau mungkin kekalapan
sesama ‘’penaik darah’’. Tapi memperkosa seorang anak berusia 11 tahun,
membunuh, dan bahkan mencoba menghilangkan jasadnya dengan membakar, tak
mungkin bisa kita terima sekali pun di tengah masyarakat yang baru
belajar arti beradab.
Kita semua, tak hanya orang Mongondow atau
yang ada di Mongondow, lebih dari amat sangat pantas murka terhadap
musibah yang menimpah Elvira Mokoginta dan keluarganya. Tanpa berpasrah,
mari kita serahkan ke tangan hukum dan menuntut agar keadilan
ditegakkan. Hukuman mati mungkin pantas ditimpahkan pada pelaku, tetapi
biarkan itu dijatuhkan oleh hakim tanpa tekanan kemarahan massa,
melainkan sebab para pengadil memang punya nurani.
Di saat yang sama saya pribadi menghatur
mohon pada Yang Maha Esa, semoga Dia melapangan sorga untuk Elvira
Mokoginta, bocah 11 tahun yang tak pernah saya kenal secara pribadi.
Anak perempuan yang mengingatkan saya di tengah pikuk modernisasi ini
betapa ada nilai-nilai luhur di Mongondow yang perlahan mungkin kian
kita pinggirkan.
Saya sungguh berdoa semoga kepergiannya memberi arti dan kesadaran pada kita semua, orang Mongondow.***
Minggu, 30 Juni 2013
Jangan Lupakan Almarhumah Elvira Mokoginta!
Saya masih mengingat peristiwa yang menimpa bocah itu dengan
hati yang patah. Dan saya yakin, Kapolres Hisar Siallahan yang belum bertugas
di Bolmong di saat Almarhumah Elvira Mokoginta dihabisi dengan darah dingin,
perlu diingatkan ada pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Kalau Kapolres
dengan tegas menyatakan pengungkapan kasus Ayu adalah harga diri buatnya (Totabuan.Co, Kamis, 20 Juni 2013, Kapolres: Soal Kasus Ayu Basalama (h), Itu
Harga Diri Saya); mengapa hal yang sama tidak pula untuk kasus-kasus yang
lain?
Tersebab begitu lamanya kasus Almarhumah Elvira Mokoginta terkatung-katung, pengungkapannya justru lebih dari sekadar harga diri Kapolres, melainkan jajaran kepolisian di Sulawesi Utara (Sulut). Bukankah polisi sudah kian mumpuni didukung pengetahuan dan peralatan canggih? Apalagi dibanding kejahatan kerah putih, terorisme, dan sejenisnya yang kompleks, menurut hemat saya kasus pembunuhan terhadap Almarhumah Elvira Mokoginta tidak serumit itu...." Baca lengkapnya di: http://kronikmongondow.blogspot.com/2013/06/jangan-lupakan-almarhum-elvira-mokoginta.html
Tersebab begitu lamanya kasus Almarhumah Elvira Mokoginta terkatung-katung, pengungkapannya justru lebih dari sekadar harga diri Kapolres, melainkan jajaran kepolisian di Sulawesi Utara (Sulut). Bukankah polisi sudah kian mumpuni didukung pengetahuan dan peralatan canggih? Apalagi dibanding kejahatan kerah putih, terorisme, dan sejenisnya yang kompleks, menurut hemat saya kasus pembunuhan terhadap Almarhumah Elvira Mokoginta tidak serumit itu...." Baca lengkapnya di: http://kronikmongondow.blogspot.com/2013/06/jangan-lupakan-almarhum-elvira-mokoginta.html
berita terkait lainya:
Elvira Mokoginta Masih Sempat Jualan Kue: http://manado.tribunnews.com/2011/06/29/elvira-mokoginta-masih-sempat-jualan-kue
Jenazah Elvira Mokoginta Korban Sadisme Diautopsi: http://manado.tribunnews.com/2011/06/30/jenazah-elvira-mokoginta-korban-sadisme-diautopsi
Dokter Forensik Pastikan Sebelum Dibunuh Elvira Mokoginta Diperkosa: http://manado.tribunnews.com/2011/06/30/dokter-forensik-pastikan-sebelum-dibunuh-elvira-mokoginta-diperkosa
Polres Bolmong Tambah Personil Pasca Pembunuhan Sadis: http://manado.antaranews.com/berita/14618/polres-bolmong-tambah-personil-pasca-pembunuhan-sadis
HMI Minta Aparat Cepat Proses Kasus Elvira: http://hmibolmong.wordpress.com/2011/07/03/hmi-minta-aparat-cepat-proses-kasus-elvira-tribun-manado-sabtu-2-juli-2011-1732-wita/